Kamis, 05 September 2019

DARUSSALAM KEPUTIH DAN "RAUDHAHNYA" (Cerita Di balik Harlah Ke-5 Darusslam Keputih)


DARUSSALAM KEPUTIH DAN "RAUDHAHNYA"
(cerita Di balik Harlah Ke-5 Daarussalam Keputih)


Persiapan Acara Harlah Ke-5

Pondok Pesantren Darussalam Keputih Surabaya tampak semakin “menghijau” sehari sebelum acara Harlah berlangsung, ornamen dan dekorasi acara yang bernuansa hijau-putih itu makin hidup dengan kuatnya antusias para pengurus, baik dari pihak yayasan maupun Ikatan santri Darussalam Keputih, tidak ada yang berpangku tangan, santri-santri saling bergegas menyingsingkan lengan bajunya untuk terlibat dalam acara penting tahunan di Darussalam Keputih ini. Lalu lalang santri di area pondok dalam memberikan kontribusi dan partisipasinya makin tampak semarak dan khusu’ dengan adanya iringan lantunan Ayat-ayat Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh santri baik santri baru maupun yang lama, tentu para Huffadz Darussalam tidak akan ketinggalan meramaikan momentum Khotmil Qur’an yang dimulai sejak Pagi hari menjelang kegiatan harlah tersebut.

Ada yang berbeda pada hari itu, Darussalam Keputih seolah disulap menjadi “Raudhah” – Taman-taman Surga, dengan hamparan karpet hijau diseluruh area halaman pondok (kira-kira jika dilihat dari pencitraan Google Map, Lokasi karpet itu Antara Masjid dan Pondok / Bainal Masjid wal Ma’had), terus menuju depan Lorong masuk pondok. Tak ada alas kaki  berhamburan disana-sini, semua merasa malu untuk mengotori hamparan kapet hijau itu. Halaman yang dulunya terasa sempit, kini menjadi luas. Luas sebab semua sepeda motor dialihkan dari pondok ke area Masjid As-Sa’adah Keputih. Namun seolah memberikan isyarat dari semua perubahan yang singkat itu, bahwa Darussalam memang sudah saatnya melangkah untuk berubah menuju pesantren yang berkemajuan; Bersih dan lapang (diharapkan bukan hanya fisiknya tapi juga hati semua warga pesantrennya) serta  menjadi Surganya penuntut ilmu yang senantiasa konsisten dalam membawa faham “hijau” (Barhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdhiyyah).

Angka 5 menjadi sakral bagi panitia, 5 hari mempersiapkan Acara untuk hari Lahir yang ke-5 Darussalam keputih. Tanggal 1 September 2019 yang bertepatan denga 1 Muharrom 1441 H bukanlah tanpa makna, persiapan singkat ini mengajarkan kita (Semua elemen Pondok) untuk siap menghadapi tantangan dengan Cepat dan Tepat. Angka ganjil ini (1 dan 5) merupakan simbol Penting. Kenaapa Tgl 1, dan kenapa di saat Harlah ke-5 ? secara pribadi penulis memandang angka 1 adalah awal yang baik untuk memulai kebaikan, selain meninggikan konsep Ke-esaan (Ketauhidan pada Allah Swt),  juga untuk menyatukan segala perbedaan yang ada, karena hanya persatuan yang mampu bartahan kuat dalam menghadapi Problematika yang pasti datang. Angka 5 di tahun yang ke-5 Darussalam Keputih sudah harus makin komitmen menjalankan 5 Misi yang telah disepakati bersama, menjaga dan menerapkan 5 pancasila, dan terus menata Ubudiyyah dalam 5 Rukun Islam (Bukan Hanya Iman), dan mengajarkan ajaran, mengenalkan serta meneladani minimal 5 Wali Allah yang ada di Jawa Timur. 

Usai Semangat Agustusan bergandenglah dengan Semangat Muharram yang memiliki esensi Hijrah pada kebaikan, Itulah Darussalam Keputih di Usianya yang ke-5. Peranan ini sudah dirasakan sejak mempersiapkan acara Pengajian Umum dan Harlah ke-5 PPDS ini. 5 hari untuk harlah 5 itu memang benar, bahkan peranan itu mulai terasa saat persiapan : Bersatunya 5 elemen di Pondok ; 1) Santri, 2) Panitia, 3) Asatidz, 4) Keluarga Ndalem dan 5) Pihak Yayasan PP. Darussalam Keputih. Maka ribuan terimakasih kami sampaikan kepada 5 elemen tersebut yang telah bersatu untuk tgl 1 dan harlah ke-5 yakni, Mas Indra Dkk, Gus Marozik dan jajaran panitianya, KH. Ahmad Arsyad dan Semua Kiyai dan Asatidz lainnya, Nyai Hj. Zuhro Ahmad dan semua Dzurriyyahnya, serta Nyai Hj. Zumrotul Mukaffa dan jajarannya di Yayasan. Semoga Senantiasa dirahmati oleh Allah SWT.

Untuk pertama kalinya, Panitia Harlah Darussalam Keputih membuat Pengumuman yang bertuliskan “Pengajian Umum” (Terbuka untuk umum) bahkan disebar ke beberapa tempat termasuk pemberdayaan media sosial dan pengumuman di masjid/Mushollah Keputih. bukan hanya panitia yang tercengang, santri, alumni, bahkan Masyarakat sekitar pun sedikit terheran-heran. Bagaimana Mungkin ?, Area Pondok yang sempit digunakan acara Besar dan umum, apalagi untuk sekelas Pengajian KH. Agus Ali Masyhuri (Gus Ali) yang biasanya dihadiri ribuan jama’ah. Namun image itu hanyalah image, tidak akan merubah ukuran jumlah jama’ah dan ukuran tempat untuk jama’ah, karena kami yakin sempit dan luas itu ada di hati, banyaknya atau sedikitnya jama’ah itu bukan ukuran pengajian, karena yang sedikit pasti sudah hasil seleksi (pilihan) Allah SWT, dan banyaknya pun tak terbanding sebab kehadiran para Malaikat yang berdoa untuk orang yang ngaji dalam sebuah Majelis Ilmu bisa jauh lebih banyak dari manusianya.

Acara Harlah ke-5 akan dimulai
Keringat Santri tampak belum kering, mereka mulai bersiap di posisi yang sudah ditentukan oleh panitia, petugas Hadrah mulai mengelus Terbangannya sedikit memberi pukulan pada kulit terbang sebagai tanda yang mantap bahwa mereka (Tim Banjari “Hubbul Wathon”  Darussalam Keputih) telah siap Menyambut Jama’ah dan Mengundang Rasulullah Saw.
MC siap, dengan santun dan tegasnya beliau (Ust. Moh. Isbir, M.Pd.I) mulai menyapa jama’ah dengan Salam Khasnya yang mampu menyihir jama’ah yang hadir. “Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wa Barokatuh” Menggema di langit Daruusalam dan mengheningkan suasana Acara Ba’da isya itu. Tanda acara dimulai, hilir mudik Jama’ah mulai berdatangan mengambil posisi yang paling nyaman.

Pra acara berlangsung khidmat, lantunan Sholawat demi Sholawat saling susul menyusul bagaikan 1 Album Disc Banjari yang terus berputar menghibur dan mengajak jama’ah Mengundang Rasulullah hadir terlebih dahulu, Shollu ‘alan Nabi Muhammad. Tiba-tiba jama’ah terperangah dan memelototkan mata seolah tidak ingin ketinggalan tontonan, Hp Jama’ah mulai diangkat serenatak, ada yang selfie adapula yang bersiap update status dan posting di media sosialnya, yang jauh dari panggung mulai mendekat, yang terhalang jama’ah di depannya mulai berdiri. Pandangan semua tertuju pada Ust. Huda (santri Alumni Darussalam Keputih) yang berjalan menuju area tengah depan panggung utama. Seperti Maulana Jalaluddin Rumi, Tari Sufi itupun berlangsung. dengan Kopiyah khasnya yang tinggi itu (dikenal dengan sebutan “sikke”- sebagai tanda batu nisan para wali), Ust Huda mulai berputar-putar karena cinta kepada Allah Swt, putaran demi putaran memberikan isyarat tentang perputaran alam semesta dan konsep tawaf di ka’bah, hal menarik lainnya adalah baju putih yang panjang seolah mengingatkan pada jama’ah akan baju yang pernah dikenakan Rasulullah Saw dan mengingatkan kita semua akan ego kita yang keduniawiaan dan mengingat kematian.      

Setelah cukup lama, Lantunan Sholawat berkumandang, dan tarian Sufi asal Turki itu juga berakhir, MC memberikan Informasi pada Jama’ah yang hadir, “Gus Ali Sudah hadir di Area Darussalam keputih”. Sautan Hamdalah berdengung lirih, sedikit meluruskan posisi duduk sambil menyicipi konsumsi yang ada,  ada juga  beberapa jama’ah yang mulai berdiri dan merapat ke Panggung utama.  Crew Media Partner yang sempat hadir (TV9) mulai menyiapkan dan memastikan ala-alatnya siap untuk Syuting/Rocording, beberapa Media online-pun (NU Online, Darussalamkeputih.com, dll) mulai menyiapkan catatannya.

“Thala’al Badru” tiba-tiba dilantunkan oleh tim banjari, sontak semua Jama’ah berdiri (mahallul Qiyam), seketika itu pula area Jama’ah putri membelah Jalan untuk akses jalan Pengasuh Ponpes Progresif Bumi Sholawat Sidoarjo (Gus Ali), dengan dikawal beberapa Kiyai dan tokoh masyarakat, panitia dan Banser, Gus Ali Naik di panggung Kehormatan. Jama’ah makin memanuhi halaman parkir Pondok, bahkan meluber sampai ke dalam kelas-kelas pengajian diniyah. Entah apa yang membuat area tersebut tiba-tiba penuh, tentu bukan hanya masalah ukuran tempat dan juga bukan masalah jumlah jama’ah. Sisi lainnya adalah Allah Swt hanya mendatangkan yang menjadi pilihannya saja. Karena bukan kaki penyebab kehadiran Jama’ah, bukan pula mata sebab informasi terbaca dan beredar dimana-mana, tapi hati yang tulus serta luas itulah yang insyaAllah menjadi Jama’ah undangan Allah, bukan undangan Panitia.

Kata-kata “Bukan Undangan panitia” itu senada dengan yang disampaikan oleh Gus Ali saat Panitia sowan ke Kediaman Beliau di Sidoarjo, Kata Beliau “Ini Bukan kamu (Yayasan/Panitia) yang undang saya, tapi saya diundang oleh Kiyai Ibrahim” (red), kata-kata itu adalah isyarat tentang kedekatan Seseorang dengan orang yang dicintai. Disitulah sebenarnya tantangan pengajian, jadi Gus Ali yang oleh panitia diundang H-5 dan beliau rela hadir dan Memprioritaskan Hadir sebab yang undang bukan hanya panitia tapi memenuhi undangan orang yang dekat dengan beliau,  yang dicintainya karena Allah Swt, sejatinya selain undagan Allah, Beliau memenuhi undangan Almarhumain ; Almaghfurlah. KH. Ibrahim dan KH. Abdus Syakur Ibrahim, Pendiri Ponpes Darussalam Keputih Surabaya)
Lagu Indonesia Raya dan Syubbanul Wathon Bergema di Gerbang utama Desa Keputih itu. Kekuatan berdiri para Ulama, kiyai dan tokoh masyarakat di atas panggung membuat Santri-santri “malu”, beliau-beliau yang sudah sepuh masih kuat berdiri demi Hormat pada Lagu Kebangsaan NKRI itu, serta Keitiqamahan menjaga NU dalam kepalan tangan-tangan mulia beliau  berirama dengan nada “yalal Wathon” Semangat Cinta Tanah air yang tak boleh padam.   

Pembacaan Ayat Suci Al-Qur'an Oleh Mas Asmi (Santri PPDS Keputih) meneduhkan suasana dengan merdunya suara sang Qori,. dilanjutkan Sambutan ketua Yayasan Ponpes Darussalam Keputih Surabaya, oleh Nyai Hj. Zumrotul Mukaffa, M.Ag. Sambutan beliau menggambarkan kesiapan yang kuat dan katawadhu’an yang tinggi. Siap ngaji dan terus ngaji tanpa henti serta siap selalu menerima nasihat, masukan, kritik yang konstruktif, serta yang terpenting doa dari para Ulama, para kiyai dan  sesepuh. Kesadaran dengan usia 5 Tahun ini, pondok masih dikatakan “balita” untuk harus berjalan bersama “kedewasaan” pesantren lain di sekitarnya dan kebutuhan para santri yang Notabene adalah Mahasiswa kampus Umum di Surabaya yang harus diselamatkan dan dibentengi kekuatan Aqidah, Ibadah, serta Akhlaqnya agar tetap berasda dalah zona Ahlussnnah Wal Jama’ah An-Nahdhiyyah.

Kenikmatan ngaji di “Raudhahnya Darussalam Keputih” Bersama Gus Ali makin terasa, bagaikan sebuah kerinduan lama yang baru terobati di karpet hijau antara Masjid As-Sa’adah Keputih dan Ma’had Darussalam Keputih. Ruadhah yang kita inginkan bukanlah tempat yang luas, sementara hati sempit, Akan tetapi walau tempat yang tidak luas, sempitnya-Sempitnya Raudhah adalah Luas-luasnya Jama’ah yang berhati luas dan tulus. Hal ini harunya menjadi simbol Syi’ar dan mengharap-harap Ridha Allah Swt serta semangat belajar “Mengemis” Syafa’at Rasulillah Saw.

*Shollu 'Alan Nabi Mhammad*


Suarabaya, 5 September 2019 / 5 Muharrom 1441 H

di Area Pondok Pesantren Darussalam keputih

Rabu, 28 Agustus 2019

INFO PENGAJIAN UMUM & HARLAH PPDS KE-5 : NGAJI BERSAMA GUS ALI

PENGUMUMAN HARLAH KE-5
PONPES DARUSSALAM KEPUTIH SURABAYA
TAHUN 2019-2020



SEMOGA BERMANFAAT

Rabu, 10 Juli 2019



[PENGAJIAN UMUM]
<Khusus Muslimah>

Hadirilah pengajian umum bulanan khusus muslimah bersama Usth. Dr. Zumrotul mukaffa (ketua yayasan pp. Darussalam keputih Surabaya) pada :

Hari       : setiap hari rabu pekan ke-2 
Jam       : 15.30 (ba'da ashar)
Tempat  : Gedung Utama PP. Darussalam Keputih

#fatayat
#muslimat
#NU
#aswaja
#santriwati 
#indonesialebihnyantri

Rabu, 27 Februari 2019

Selamat Jalan Mutiara yang Terpendam



Tidak bisa dipungkiri, Surabaya telah menghiasi kanvas kehidupanku dengan corak warnanya yang beragam. Lima puluh satu bulan berada di kota tersebut membuatku rindu akan kenangan yang kini hanya menjadi cerita tak berkata. Rasanya ingin sekali me'monumen'kan setiap detik dari empat tahun lebih tiga bulan itu, juga setiap jengkal dari ribuan langkah yang telah kaki ini tempuh. Namun, apalah arti semua itu bila hidupku masih saja tak bermanfaat bagi kehidupan.

Pada kesempatan nganggur di tengah-tengah kesibukan malam ini, melihat sepintas foto beliau yang diupload di group pondok membuat tanganku tak sanggup menolak untuk memonumenkan sosok Abah Yai yang pernah dengan segala teladannya mendidik lakuku.

Darussalam.. Adalah pondok kecil di salah satu sudut kota pahlawan, di pinggiran desa yang bernama Keputih, di belakang kampus besar yang bernama ITS. Pondok sederhana yang menjadi tempatku menghabiskan semester 3 sampai semester 6 kuliahku. Tidak banyak yang tahu memang. Pondok ini hanyalah pondok kecil (dulu, entah sekarang) dengan 2 kamar santri, 1 kamar ustadz, 1 ruang ngaji, dan 2 kamar mandi. Letaknya yang berada di dalam, lebih tepatnya di belakang ndalem, tanpa papan nama seperti pondok-pondok kebanyakan, membuat pondok ini semakin tak diketahui orang. Hanya cerita dari mulut ke mulut lah yang membuat keberadaan pondok ini terdeteksi orang.
Beliau lah Al-Maghfur Lah Abah Yai KH. Abdus Syakur bin Ibrahim yang menjadi magnet bagi segelintir orang-orang pilihan yang sempat nyantri di sana. "Orang se-Keputih, orang se-ITS itu pada kemana saja, ada orang seperti Abah Syakur kok dibiarkan saja", kata dosenku waktu itu. Memang, Abah Yai yang begitu itu seperti berlian yang disembunyikan. Tidak memiliki ratusan santri seperti Kyai kebanyakan. Tidak membutuhkan puluhan jama'ah pengajian seperti Kyai pada umumnya. Beliau seperti tidak mau nampak ke permukaan. Apakah seperti beliau ini yang dimaksud Ibnu Athoillah dalam Kitabnya, Al-Hikam, agar kita menanam diri dalam tanah kerendahan?

Memang, kami tidak disediakan jam tersendiri untuk menimba ilmu secara lahir dari beliau. Putra-putri beliau lah yang terjun mendidik kami. Ustadz Marozik, biasa kami sapa dengan panggilan "Ustadz", putra beliau yang menempati kamar di sebelah kamar kami. Ustadz lah yang paling sering berinteraksi dengan keseharian kami. Beliau mengisi ngaji setelah maghrib. Ning Yung,  putri beliau yang paling so sweet, begitu besar perhatiannya pada kami. Mulai dari membangunkan shubuh, ngopyaki piket, mengambilkan makan, beliau lah yang mengurusi tetek mbengek kami. Ning Yung mengisi ngaji setelah shubuh, dengan suaranya yang menggelegar itu :D. Satu lagi Ustadz Sukamto, kami biasa memanggilnya Gus To. Kalau Gus To ini adalah menantu beliau. Hanya seminggu sekali ngaji Nashoihul Ibad, pada malam Rabu setelah Isya'.

Begitulah, bahkan kepada santri-santrinya sendiri Abah Yai tak "muncul ke permukaan". Selama aku di pondok, hanya sekali saja kami diminta ke ndalem untuk ngaji Al-Qur'an di hadapan beliau. Meski hanya sekali tetapi didikan beliau benar-benar tertanam di hati. Tentang makhroj huruf dan tajwid yang pagi itu beliau ajarkan, sampai saat ini masih jelas ucapan beliau di telingaku.

Bukan teori memang yang diajarkan beliau kepada kami, meski tak bisa dipungkiri tidak sedikit pula nasihat yang beliau berikan kepada kami saat sowan ke ndalem .

Uswah Hasanah yang beliau nampakkan kepada santrinya memang lebih tajam daripada teori. Lisanul hal afshohu min lisanil maqol. Bagaimana beliau mengajarkan kesederhanaan, kerendahan hati, keistiqomahan, kesabaran, tawakkal, ikhlas, bertahan dalam arus, dan ah masih banyak lagi yang beliau ajarkan kepada kami.

Mungkin, jika sampeyan bertanya pada santri-santri beliau, "Siapakah orang yang paling menghormati tamunya?", mereka akan menjawab "Abah Yai". Bahkan jika tamu itu adalah kami yang notabene santri-santri beliau. Ya, beliau sendiri lah yang selalu menuangkan minuman ke dalam gelas untuk kami. Beliau sendiri pula lah yang membukakan tutup-tutup toples yang kemudian mengambilkan kami jamuan yang ada, satu per satu. Sehingga berkali-kali pula lah aku menyusun strategi agar puasa ku tidak batal, tanpa menolak pemberian beliau.

Di setiap kesempatan kami sowan ndalem, selalu yang dipilih adalah pagi hari. Kenapa?, agar ada alasan untuk tidak berlama-lama menyita waktu beliau; ngapunten Abah Yai, badhe kuliah. Karena Abah Yai tak pernah mengakhiri menjamu tamu sebelum tamu tersebut yang meminta. Pernah suatu ketika kami sowan ndalem ba'da maghrib, agar terbentur dengan Isya' yang seharusnya Abah Yai menjadi imam di masjid, sehingga harap kami: kami tidak berlama-lama menyita waktu beliau tetapi tanpa alasan yang "mengada-ada". Tanpa kami sangka, Abah Yai tidak memperdulikan jama'ah di masjid hanya karena "tamu-tamu" semacam kami. Duh, beliau benar-benar megajarkan kami tentang menghormati tamu, tentang mementingkan orang lain.

Kini, teladan kami sudah dipanggil-Nya pulang. Tuhan telah merindukan beliau. Hanya kenangan lah yang dapat ku lihat saat ke Surabaya. Hanya makam beliau lah yang dapat ku kunjungi saat ke Keputih.

Selamat jalan Abah Yai. Selamat jalan wahai guruku...
Selamat menikmati kehidupan baru dalam taman surga...
Semoga Allah Selalu menyayangimu, pembimbing ruhku......
Air mata penuh cinta menetes sedih  mengiringi senyumanmu menghadap Tuhanmu, mengiringi perpisahan yang telah ditetapkan....
Engkau rawat kami dengan teladan yg indah. Mohon maaf jika kami tidak tumbuh seindah yg engkau harapkan....
Segala tentangmu akan selalu terkenang...
Beristirahatlah senyaman pengantin..
Semoga Allah memulyakanmu di samping Nabi..
Doa kami selalu, agar engkau selalu disayangiNya...
Selamat jalan wahai Kyaiku....


Ulir Rohwana
Alumni PP. Darussalam Keputih

BASMALAH DALAM SURAT AT-TAUBAH (PART 2)

Gambar terkait

Moh Fathurrozi, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo dan Dai PCINU Korea Selatan(Kajian ilmu qira'at atas polemik basmalah dalam surat al-Taubah)


Berangkat dari pertanyaan pada tulisan pertama; kenapa tidak diperkenankan membaca basmalah dalam surat al-Taubah, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat, apakah larangan ini mengandung arti hukum haram atau sekedar peringatan yang tidak berdampak dosa ?.
Pada tulisan ini, penulis akan memetakan cara baca antara surat al-Anfal dengan al-Taubah dan hukum membaca ayat di tengah-tengah surat al-Taubah. 

Dalam ilmu qira'at, ada banyak pendapat tentang cara menyambung antara dua surat; ada yang membaca dengan waqf (berhenti sejenak untuk mengambil nafas kira-kira dua detik), ada yang membaca _washl_ (menyambung dua surat tanpa mengambil tarikan nafas), ada pula yang membaca _sakt_(berhenti sejenak menahan tarikan nafas kira-kira dua detik), bahkan ada pula yang menyambungnya dengan basmalah atau meninggalkannya. Semua tata cara (thariqah/ Metode) ini sahih dan mutawatir, baik bagi _qurra' Sab'ah_ atau asyrah. Misalnya, Imam Nafi', Imam al-Qurra' Madinah, memiliki komplesitas bacaan seperti di atas melalui kedua muridnya yang masyhur; Imam Qalun dan Warsy. Berbeda dengan Imam ‘Ashim, beliau hanya memiliki satu cara baca (satu cara baca memiliki tiga oprasional), yaitu menyambung kedua surat dengan basmalah. Meskipun demikian, untuk cara menyambung antara surat al-Anfal dan al-Taubah, para ulama, baik _qurra sab'ah_ (qira'at tujuh) maupun _qurra' Asyrah_ (qira'at sepuluh) sepakat, baik secara metode maupun oprasionalnya, yaitu dengan tiga cara; _waqaf_, _washal_ dan _sakt_. Ketiga oprasional bacaan ini tanpa membaca basmalah. Berikut contohnya.

Pertama. _Waqaf_, cara mengoprasionalkan bacaan waqaf ini adalah berhenti pada ayat terakhir ( ان الله بكل شيء عليم) mengambil nafas kira-kira dua detik kemudian melanjutkan awal surat al-Taubah. Ketika dalam keadaan berhenti (antara dua surat; al-Anfal dan al-Taubah) seorang qari' boleh menambahkan bacaan isti'adzah. Dalam hal ini, membaca istiadzah dianjurkan.

Kedua. _Washal_, cara mengoprasionalkan bacaan ini adalah menyambung antara kedua surat al-Anfal dan al-Taubah tanpa mengambil tarikan nafas, sebagaimana menyambung antar dua ayat yang berdampingan. Dalam hal ini, seorang qari' tidak perlu membaca kalimat istia'adzah.
Ketiga. _Sakt_, cara mengoprasionalkan bacaan ini adalah berhenti sejenak pada ayat terakhir surat al-Anfal dengan menahan nafas kira-kira dua detik, kemudian melanjutkan awal surat al-Taubah. Dalam hal ini pula, seorang qari tidak perlu membaca kalimat isti'adzah.
Demikian merupakan tata cara (motode) dan orasionalnya menyambung antara surat al-Anfal dan al-Taubah. 

Sebelum masuk pada pemetaan hukum membaca basmalah di tengah-tengah surat al-Taubah, terlebih dahulu sebaiknya dipaparkan membaca basmalah di tengah-tengah surat selain surat al-Taubah, agar kita dapat mengetahui secara komprehensif dan dapat menemukan perbandingan hukum.
Secara umum, ulama qurra' sepakat membaca basmalah pada awal setiap surat kecuali surat al-Taubah. Sementara mengawali di tengah-tengah surat selain al-Taubah, ulama qurra' memberikan kelonggaran, yaitu boleh di awali dengan membaca basmalah atau meninggalkannya. Artinya, seorang qari' ketika hendak membaca ayat di tengah-tengah surat selain al-Taubah boleh memilih antara membaca basmalah atau meninggalkannya dengan membaca isti'adzah saja. Namun, alangkah baiknya bagi seorang qari untuk mengawali baca al-Quran dengan basmalah, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat, sebab menambah pembendaharaan pahala.

(Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan tengah-tengah surat yaitu selain ayat pertama dalam surat).
Hukum membaca basmalah pada surat al-Taubah
Adapun hukum membaca basmalah di tengah-tengah surat al-Taubah adalah sebagaimana berikut:
Pertama. Haram membaca basmalah di awal surat al-Bara'ah dan makruh membaca basmalah di tengah-tengah surat. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ibnu Hajar dan Imam al-Khatib.
Dasar pengambilan hukum haram ini karena tidak mengikuti petunjuk bacaan yang mutawatir. Artinya, keluar dari pakem dan kesepakatan ulama qurra'. Sementara hukum makruh di tengah-tengah surat al-Taubah karena tidak ada petunjuk resmi larangannya, sehingga untuk mengantisipasi dilakukan larangan yang tidak mengikat, yaitu hukum makruh.

Kedua. Makruh membaca basmalah di awal surat al-Taubah dan sunnah membaca basmalah di tengah-tengah surat, sebagaimana membaca basmalah di tengah-tengah surat selain surat al-Taubah. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Romliy.

Dasar pengambilan hukum ini (makruh di awal surat) adalah karena tidak petunjuk (larangan) resmi dari Nabi maupun sahabat. Sedangkan pengambilan hukum sunnah di tengah-tengah surat adalah karena diqiyas (analogi) kan dengan membaca basmalah di tenga-tengah surat selain al-Taubah.
Oleh karena itu, dari beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
Pertama. Membaca basmalah pada awal surat merupakan sunnah yang sangat dianjurkan kecuali surat al-Taubah.

Kedua. Membaca basmalah di tengah-tengah surat boleh dilaksanakan atau ditinggalkan. Namun sebaiknya membaca basmalah, sebagaimana tradisi yang berkembang, untuk pembendaharaan pahala.
Ketiga. Membaca basmalah di awal surat al-Taubah tidak dianjurkan bahkan dilarang. Sebaiknya jika membaca awal surat al-Taubah cukup membaca isti'adzah saja.
Keempat. Membaca basmalah di tengah-tengah surat al-Taubah sebaiknya ditinggalkan meskipun ada yang berpendapat membolehkannya. Hal ini didasarkan pada qiyas (analogi) tidak dianjurkannya membaca di awal surat. Di samping tidak ada petunjuk resmi dari nash.

Berkaitan dengan kesimpulan di atas, maka sebaiknya bagi khalayak ummat muslim yang biasa baca diba'an untuk tidak membaca basmalah ketika mengawali bacaan surat al-Taubah terakhir ayat 127, (لقد جاءكم رسول من انفسكم عزيز) cukup diawali dengan isti'adzah saja. Mengingat membaca basmalah di tengah-tengah surat al-Taubah tidak dianjurkan. Demikian....semoga bermanfaat.

Daftar Refrensi
Al Fadhliy, Abdul Hadi, Al-Qira'at al-Qur'aniyah; Tarikh wa Ta'rif. Beirut: Markas al-Ghadir, 2009.
Al-Dhobba', Al-Idhaah fi Bayan Ushul Al-Qira'at. Mesir: Al-Maktabah Al-Azhariyah li Al-Turats, 1999.
Al- Qadiy, Abd Al-Fattah, Al-Budur Al-Zahirah fi Al-Qira'at Al-Asyrah Al-Mutawatirah. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabiy, tth.
Al- Qadiy, Abd Al-Fattah, Al-Budur Al-Zahirah fi Al-Qira'at Al-Sab'i. Jeddah: Maktabah Al-Suwadiy, 1992.
Al-Qurtubiy, Abu Abdillah Muhammad, Tafsir Al-Qurtubiy. Beirut, Dar Al-Arabiy, tth.
Al-Qatthan, Mabahits fi Ulum Al-Qur'an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.


Moh Fathurrozi, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo dan Dai PCINU Korea Selatan

27 - Juni – 2018
Nonsan, South Korea.


BASMALAH DALAM SURAT AL-TAUBAH

(Kajian ilmu qira'at atas polemik basmalah dalam surat al-Taubah)
Hasil gambar untuk iqra
Iqra' (Bacalah)
Setiap surat dalam al-Quran diawali oleh Basmalah kecuali dalam surat al-Taubah atau al-Bara'ah. Dalam surat al-Taubah tidak dicantumkan basmalah sebagaimana surat-surat yang lain. Hal demikian menimbulkan pertanyaan banyak kalangan kenapa hanya surat al-Taubah yang tidak dicantumkan basmalah.
Sejarah penulisan al-Quran, berawal sejak turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad. Namun penulisan al-Quran pada saat itu dalam kondisi yang sangat terbatas. Nabi setiap kali menerima wahyu, beliau memanggil sekretaris (katib resmi) untuk mendukomentasi wahyu tersebut ke dalam bentuk tulisan. Dukomentasi wahyu ini kemudian dikenal dengan nama mushaf (penulis akan menggunakan kata mushaf).
Pada masa Utsman bin Affan, mushaf ini kemudian ditulis kembali dalam rangka menjaga dari kesalahan sekaligus menjaga otentesitas variasi bacaan al-Quran( qira'at al-Quran). Penulisan masa ini, dilaksanakan oleh tim yang telah mendapatkan rekomendasi dari khalifah Utsman dan persetujuan para pembesar sahabat. Direktur utama dalam penulisan mushaf ini adalah Zaid bin Tsabit. Secara teknis pelaksanaan penulisan ini dilakukan secara selektif dan ketat. Setiap ayat yang hendak ditulis harus melalui perksaksian dua orang yang mendengar langsung dari Nabi. Tidak hanya itu saja, Sayyidina Utsman mengeluarkan kebijakan yang luar biasa, yaitu memerintahkan untuk membakar semua mushaf selain mushaf yang ditulis oleh tim. Hal ini dilakukan dalam rangka menyatukan persepsi tentang bacaan al-Quran yang sesuai bacaan Nabi Saw. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa penulisan al-Quran ini telah tuntas tanpa problem yang berarti. Kembali pada pertanyaan di atas; kenapa dalam surat al-Taubah tidak dicantumkan basmalah, apakah hal ini sesuai petunjuk Nabi, sahabat atau tim penulis mushaf lupa mencantumkannya?.
Dalam banyak kesempatan, penulis sering mendapat pertanyaan, baik dari kalangan mahasiswa/I maupun dari kalangan masyarakat biasa, yang kira-kira hampir sama dengan di atas, yaitu; kenapa dalam surat al-Taubah tidak dicantumkan basmalah bahkan tidak diperkenankan membacanya, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat..??
Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu kronologis tidak dicantumkannya basmalah dalam surat al-Taubah.
Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi tidak dicantumkannya basmalah dalam surat di atas, yaitu: pertama, dalam tradisi Arab jahiliyah dahulu jika mereka melakukan perjanjian dengan sebuah kaum atau kabilah yang lain dan hendak memutuskan perjanjian tersebut, maka mereka mengirimkan sepucuk surat pemutusan tanpa mencantumkan kalimat basmalah. Pun demikian, ketika umat muslim memutuskan perjanjian dengan orang-orang musyrik, Nabi mengutus Sayyidina Ali untuk membacakan surat di atas ( al-Taubah) di hadapan mereka tanpa diawali dengan bacaan basmalah, sesuai adat mereka.
Kedua, Ibnu Abbas bertanya kepada Utsman tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat al-Taubah. Utsman menceritakan kronologisnya, bahwa pada masa Nabi, ketika wahyu diturunkan kepadanya, Nabi memanggil salah satu sekretaris beliau untuk mendokumentasinya, dan beliau mendekte penempatan dan tata letaknya. Perlu diketahui bahwa surat al-Anfal termasuk surat yang turunnya awal, sedangkan surat al-Taubah termasuk surat yang turunnya Terakhir, kedua kisah dan penyajiannya kedua surat di atas mirip dan hampir sama. Dalam hal tersebut, Nabi tidak menjelaskan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat al-Taubah. Saya pun ( Utsman bin Affan ) berkesimpulan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat al-Taubah. Oleh karena itu, saya urutkan kedua surat tersebut tanpa mencantumkan basmalah.
Ketiga, pada kekhalifahan Utsman, para sahabat berselisih pendapat tentang surat al-Taubah. Sebagian sahabat menganggap bahwa antara surat al-Taubah dan al-Anfal adalah satu surat yang tidak terpisahkan. Sebagian sahabat yang lain menganggap bahwa keduanya adalah dua surat yang mandiri. Untuk mendamaikan kedua perselisihan tersebut, Utsman mengambil sikap tengah, yaitu tidak mencantumkan basmalah. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak yang berselisih dapat saling menerima. Dari pihak yang menganggap keduanya (al-Anfal dan al-Taubah) satu surat tidak keberatan, karena tidak dicantumkan basmalah. Sedangkan dari pihak yang menganggap keduanya adalah dua surat yang mandiri juga dapat menerima karena beda nama suratnya, meskipun tidak diawali dengan basmalah.
Keempat, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau bertanya kepada Sayyidina Ali tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat al-Taubah. Sayyidina Ali menjelaskan bahwa basmalah adalah kalimat aman sementara surat al-Taubah turun sebab perang, tidak aman. Oleh karena demikian, antara aman dan perang tidak dapat disatukan. Demikian pula, dalam basmalah itu terdapat kandungan rahmat, kasih sayang, sedangkan dalam surat al-Taubah terdapat kemarahan. Oleh karena itu, antara rahmat dan kemarahan tidak bisa disatukan. Senada dengan pendapat di atas, Imam al-Sufyan mengatakan bahwa basmalah adalah ayat rahmah, rahmah memiliki arti aman. Sedangkan surat al-Taubah turun kepada orang-orang munafik dan mengandung perang, sebab itu tidak aman bagi orang-orang munafik.
Dari kronologis di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabat sepakat tidak mencantumkan basmalah dalam surat al-Taubah berdasarkan pada periwayatan yang diterima oleh mereka dari Nabi. Pun demikian, Nabi ketika menerima ayat tersebut dari Jibril tidak disertai basmalah. Hal ini juga dibuktikan bahwa tidak ada satu pun ahli qurra’ sab'ah (qira'at tujuh) maupun qurra' asyrah (qira’at sepuluh) yang meriwayatkan membaca basmalah di awal surat al-Taubah. Artinya, mereka sepakat meninggalkan membaca basmalah di awal surat al-Taubah.
Dalam ilmu qiraat, dasar utama dalam membaca al-Quran adalah bersumber dari Nabi dan transmisi yang berkesinambungan. Sebab dalam membaca al-Quran tidak ada istilah qiyas.
القراءة سنة متبعة يأخذها الأخر عن الأول، ولا قياس في القراءة.
Imam al-Jazariy berkata dalam bentuk gubahan syair:
لأنه به الإله أنزلا *** وهكذا منه الينا وصلا
Wallahu A'lam.

Ust. Moh. Fathurrozi, Lc. M.Th,I.
6 – Juni – 2018.
Nonsan, South Korea. 

Senin, 25 Februari 2019

VIDEO PROFIL PP. DARUSSALAM KEPUTIH SURABAYA





        Pondok pesantren Darussalam Keputih, merupakan pondok pesantren semi-modern yang memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang. Berawal dari sebuah impian seorang alim ulama’ al-‘Arif billah K.H Nur Fadhil, hingga akhirnya dapat direalisasikan oleh cucu beliau dan mengalami perkembangan yang pesat di tangan cicit beliau hingga saat ini.


Popular Posts